PENGADILAN AGAMA RANGKASBITUNG KELAS 1B.png

Written by Super User on . Hits: 8830

HAK ANAK SETELAH PERCERAIAN

DALAM PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Oleh:

Gushairi, S.H.I, MCL[1],

Abstract;

Perceraian yang terjadi di Indonesia semakin tahun semakin meningkat, dan yang menjadi korban dari perceraian tersebut adalah anak. Dalam tulisan ini membahas mengenai kedudukan anak setelah perceraian dalam hukum Islam, kedudukan anak setelah perceraian dalam aturan perundang-undangan di Indonesia dan pelaksanaan pemenuhan nafkah anak pasca perceraian di Pengadilan Agama Tembilahan. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kepustakaan dengan pendekatan yuridis normative dan penelitian lapangan, dengan menggambarkan aturan-aturan yang ada di Indonesia dalam hal pemenuhan hak-hak anak pasca perceraian dan menganalisanya. Hasil dari penelitian ini adalah masih kurangnya pemenuhan hak-hak anak pasca perceraian yang disebabkan oleh aturan yang ada masih belum mampu melindungi hak-hak anak pasca perceraian. Untuk hal tersebut diperlukan beberapa solusi di antaranya adalah perubahan substansi hokum, Negara harus ikut campur dalam menanggu nafkah anak pasca perceraian, Isteri harus memiliki kemandirian dalam menjalani hidup ke depan, Mengajukan asuransi pendidikan dan kesehatan dan Keluarga ayah dan Ibu ikut bertanggung jawab menanggung nafkah anak.

Kata Kunci: Anak; nafkah anak; Perceraian.

  1. A.PENDAHULUAN

Anak adalah intan permata keluarga yang diharapkan oleh setiap pasangan suami isteri. Akan tetapi ketika terjadi perceraian antara pasangan keluarga, anak bisa menjadi pihak yang sensitive merasakan dampak dari perceraian tersebut. Dampak yang dapat dirasakan oleh anak dapat berupa: kefrustasian, kemurungan, kesedihan, kehilangan identitas sosial dan lain-lain. Dalam rangka melindungi anak setelah terjadinya perceraian, maka Undang-Undang Perkawinan No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam mengatur cukup detail mengenai anak setelah terjadinya perceraian. hal ini untuk tetap melindungi kenyamanan mereka, hak-hak mereka dan lain sebagainya.

Pada kenyataannya, penerapan aturan-aturan tentang anak setelah perceraian kurang efektif di masyarakat. Yang membiayai anak tersebut adalah orang tua yang memegang hak asuh (hadhanah) saja, sementara yang lainnya tidak mau tau dengan nasib dan perkembangan anaknya. Ketika salah satu pihak keluar dari tanggung jawab yang semestinya, maka anak yang akan merasakan kerugiannya, meskipun tidak secara langsung. Ini merupakan diskriminasi bagi anak yang bersangkutan, karena sejatinya tidak ada perbedaan hak anak baik anak tersebut masih dalam status perkawinan orang tua yang sah ataupun orang tuanya telah bercerai.

Fenomena perceraian di Indonesia yang dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan secara signifikan. Hal ini bisa dilihat dari Laporan Tahunan 2018 Direktur Jenderal Badilag kasus perceraian di seluruh Indonesia berjumlah 444.358 perkara yang terdiri dari cerai talak 118.853 perkara dan cerai gugat sejumlah 325.505 perkara.[2] Sementara berdasarkan Laporan Tahunan 2019 perkara perceraian yang masuk di Pengadilan Agama seluruh Indonesia adalah 480.618 perkara yang terbagi cerai talak 124.776 perkara dan cerai gugat 355.842 perkara. Pada tahun 2020 yang lalu berjumlah 608.528 perkara yang terdiri dari Cerai Gugat 346.086 perkara dan cerai talak sejumlah 119.442 perkara.[3]

Dari fenomena di atas, pemakalah ingin menelusuri lebih lanjut mengenai hak-hak anak setelah perceraian dilihat dari sudut pandang hak anak pada umumnya dan bagaimana pelaksanaannya dalam pemenuhan nafkah anak pasca perceraian. Oleh karenanya, dalam makalah ini akan membahas mengenai kedudukan anak setelah perceraian dalam hukum Islam, kedudukan anak setelah perceraian dalam aturan perundang-undangan di Indonesia, serta mengkaji kasus yang sering terjadi dalam masyarakat Indonesia, terutama di Pengadilan Agama Tembilahan.

  1. B.PEMBAHASAN
  2. 1.Hak Anak Setelah Perceraian dalam Islam

Putusnya perkawinan pasangan suami isteri, tidak membuat putusnya hubungan orang tua dan anak, begitu juga hak-hak anak setelah orang tuanya berpisah, ada beberapa hal yang menjadi hak anak setelah perceraian dalam Islam, yaitu;

  1. Hak Asuh (Hadhanah)

Kata hadhanah menurut etimologis berarti “disamping” atau “berada di bawah ketiak”. Sedangkan hadhanah menurut syara’ adalah pemeliharaan anak kecil, orang lemah, orang gila, atau sudah besar tapi belum mumayyiz dari apa yang dapat memberikan mudharat kepadanya. Sehingga dikatakan al-wilayah ‘ala ath-thifli litarbiyatihi wa tadbiri syu’unihi (pewalian atas anak untuk tujuan mendidik dan mengurus urusannya).[4] Definisi lain menyatakan bahwa Custody is to nurture a child who is unable to take care of him/herself during certain ages by somebody who cannot get married to that child (Hadhanah adalah mengasuh anak yang tidak mampu mengurus dirinya sendiri dalam usia-usia tertentu oleh orang yang tidak dapat kawin dengan anak tersebut).[5]

Defenisi lain bisa diungkapkan bahwa Hadhanah adalah pemeliharaan anak yang masih kecil yang belum bisa mengurus diri mereka sendiri setelah terjadinya perceraian antara kedua orang tua mereka. Islam mengharuskan kepada orang tua agar memelihara, mendidik, membimbing dan mengasuh anak tersebut. Istilah hadhanah dalam fikih, sama dengan pemeliharaan anak dalam Kompilasi Hukum Islam.[6]

Pengertian ini hampir sama yang disampaikan oleh Sayid Sabiq didalam kitabnya Fikih Sunnah, yang menjelaskan bahwa memelihara anak yang masih kecil baik laki-laki maupun perempuan yang sudah besar, tetapi belum tamyiz, atau belum mampu untuk mengurus diri sendiri dan belum tahu mengerjakan sesuatu karena belum dapat memilah mana yang baik untuknya, mendidik serta mengasuhnya baik fisik maupun mental atau akalnya agar sanggup memikul tanggung jawab.[7]

Hukum hadhanah telah disepakati oleh para ulama hukumnya adalah wajib. Namun mereka berbeda pendapat terkait apakah hadhanah ini menjadi hak anak atau hak dari orang tua (terutama ibu). Pendapat pertama menyampaikan bahwa hak hadhanah jatuh ke tangan ibu sehingga ibu bisa saja menggugurkan haknya, pendpat ini dikemukakan oleh Ulama madzhab Hanafi dan Maliki. Sedangkan jumhur ulama sepakat bahwa hak hadhanah menjadi hak bersama antara orang tua dan anak. Bahkan menurut Wahbah Zuhaily, hak hadhanah adalah hak bersyarikat antara ibu, ayah dan anak. Jika terjadi perselisihan maka yang didahulukan adalah hak dan kepentingan anak.

Pemeliharaan anak mengandung arti sebuah tanggung jawab orang tua untuk mengawasi, memberi pelayanan yang semestinya serta mencukupi kebutuhan hidup dari seorang anak oleh orang tua. Selanjutnya, tanggung jawab pemeliharaan berupa pengawasan dan pelayanan serta pencukupan nafkah anak tersebut bersifat kontinu sampai anak tersebut mencapai batas umur yang legal sebagai orang dewasa yang telah mampu berdiri sendiri.[8]

Permasalahan yang muncul adalah bagaimana pemeliharaan anak apabila terjadi perceraian. Jika terjadi perceraian, maka ibu maupun ayah tetap memiliki kewajiban yang sama untuk memelihara dan mendidik anak-anaknya. Namun jika terjadi perselisihan antara suami dan istri mengenai penguasaan anak-anak maka dapat diselesaikan melalui jalur musyawarah keluarga ataupun dengan keputusan pengadilan.

Hadhanah merupakan kebutuhan atau keharusan demi kemaslahatan anak tersebut. Sehingga kedua orang tua mereka memiliki ikatan atau sudah bercerai, anak tetap berhak mendapatkan perhatian dari kedua orang tuanya.

Di dalam Hukum Islam, pemeliharaan anak setelah bercerai antara suami dan isteri, merupakan prioritas yang jatuh kepada seorang ibu yang paling berhak mengasuhnya sampai anak tersebut mencapai usia tamyiz. Hal ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Abu Daud;

عن عبد الله بن عمرو أن امرأة قالت: يارسول الله، كان بطني له وعاء وثديي له سقاء وحجري له حواء وان اباه طلقني واراد أن ينزعه مني فقال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم أنت أحق به مالم تنكحي رواه أحمد وأبو داود وصححه الحاكم

Artinya: “Bahwa seorang wanita berkata, Ya Rasulullah, sesungguhnya anak saya ini, perut sayalah yang telah mengandungnya, dan susu sayalah yang telah menjadi minumannya dan pangkuanku lah yang melindunginya. Tapi bapaknya telah menceraikanku dan hendak menjauhkan anakku pula dari sisiku”. Maka Rasulullah bersabda, Engkaulah yang lebih berhak akan anak itu, selagi belum menikah dengan orang lain.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan disahihkan oleh imam Alhakim)

Hadis tersebut merupakan dalil bahwa seorang ibu lebih berhak untuk mengasuh anaknya, jika bapak ingin merebutnya darinya. Wanita dalam hadits ini juga menyebutkan sifat-sifat khusus bagi seorang wanita yang menguatkan keutamaannya mengasuh anaknya sendiri. Bahkan Nabi Muhammad Saw menetapkan dan memutuskan hukum sesuai dengan keinginan si ibu tersebut. Hal ini mengingatkan bahwa alasan dan tujuan-tujuan utama dipertimbangkan dalam menetapkan hukum, karena lahir dari fitrah manusia.

Para ulama tidak ada yang berbeda pendapat dalam menetapkan hukum berkaitan dengan hadits ini. Abu Bakar dan Umar memutuskan perkara berdasarkan hadis ini. Ibnu Abbas berkata, “Udara, kasur, kebebasan yang diberikan seorang Ibu lebih baik daripada bapak sampai anaknya dewasa (baligh) dan memilih diantara keduanya”.

Jika anak tersebut masih bayi, kecil atau belum mumayyiz, hak asuhnya jatuh kepada ibunya, maka anak yang sudah mumayyiz atau telah mencapai usia tertentu dan mampu menyampaikan isi hatinya, tidak perlu digendong dan dibawa-bawa lagi oleh seorang wanita, maka dalam hal tersebut kedua orang tua mempunyai kedudukan yang sama. Oleh sebab itu, terhadap anak tersebut disuruh untuk memilih antara ayah atau ibunya. Hal ini berdasarkan hadis Rasulullah Saw;


حَدَّثَنَا الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ الْحُلْوَانِيُّ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ وَأَبُو عَاصِمٍ عَنْ ابْنِ جُرَيْجٍ أَخْبَرَنِي زِيَادٌ عَنْ هِلَالِ بْنِ أُسَامَةَ أَنَّ أَبَا مَيْمُونَةَ سَلْمَى مَوْلًى مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ رَجُلَ صِدْقٍ قَالَ بَيْنَمَا أَنَا جَالِسٌ مَعَ أَبِي هُرَيْرَةَ جَاءَتْهُ امْرَأَةٌ فَارِسِيَّةٌ مَعَهَا ابْنٌ لَهَا فَادَّعَيَاهُ وَقَدْ طَلَّقَهَا زَوْجُهَا فَقَالَتْ يَا أَبَا هُرَيْرَةَ وَرَطَنَتْ لَهُ بِالْفَارِسِيَّةِ زَوْجِي يُرِيدُ أَنْ يَذْهَبَ بِابْنِي فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ اسْتَهِمَا عَلَيْهِ وَرَطَنَ لَهَا بِذَلِكَ فَجَاءَ زَوْجُهَا فَقَالَ مَنْ يُحَاقُّنِي فِي وَلَدِي فَقَالَ أَبُو هُرَيْرَةَ اللَّهُمَّ إِنِّي لَا أَقُولُ هَذَا إِلَّا أَنِّي سَمِعْتُ امْرَأَةً جَاءَتْ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَنَا قَاعِدٌ عِنْدَهُ فَقَالَتْ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ زَوْجِي يُرِيدُ أَنْ يَذْهَبَ بِابْنِي وَقَدْ سَقَانِي مِنْ بِئْرِ أَبِي عِنَبَةَ وَقَدْ نَفَعَنِي فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَهِمَا عَلَيْهِ فَقَالَ زَوْجُهَا مَنْ يُحَاقُّنِي فِي وَلَدِي فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا أَبُوكَ وَهَذِهِ أُمُّكَ فَخُذْ بِيَدِ أَيِّهِمَا شِئْتَ فَأَخَذَ بِيَدِ أُمِّهِ فَانْطَلَقَتْ بِهِ

Artinya: “Telah menceritakan kepada kami Al-Hasan bin ‘Aliy Al-Hulwaaniy: Telah menceritakan kepada kami ‘Abdurrazzaaq dan Abu ‘Aashim, dari Ibnu Juraij : Telah mengkhabarkan kepadaku Ziyaad,dari Hilaal bin Usaamah : Bahwasannya Abu Maimuunah Salmaa mantan budak penduduk Madinah yang termasuk orang jujur, berkata : Ketika aku sedang duduk bersama Abu Hurairah, datang kepadanya seorang wanita Persia yang membawa anaknya - keduanya mengklaim lebih berhak terhadap anak tersebut -, dan suaminya telah menceraikannya. Wanita tersebut berkata menggunakan bahasa Persia : “Wahai Abu Hurairah, suamiku ingin pergi membawa anakku”. Kemudian Abu Hurairah berkata kepadanya menggunakan bahasa asing : “Undilah anak tersebut”. Kemudian suaminya datang dan berkata : “Siapakah yang menyelisihiku mengenai anakku ?”. Kemudian Abu Hurairah berkata : “Ya Allah, aku tidak mengatakan hal ini kecuali karena aku telah mendengar seorang wanita datang kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam sementara aku duduk di sisinya, kemudian ia berkata : ‘Wahai Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam, sesungguhnya suamiku hendak pergi membawa anakku, sementara ia telah membantuku mengambil air dari sumur Abu 'Inaabah, dan ia telah memberiku manfaat’. Kemudian Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam bersabda : ‘Undilah anak tersebut !’. Kemudian suaminya berkata : ‘Siapakah yang akan menyelisihiku mengenai anakku ?’. Kemudian Nabi shallallaahu 'alaihi wa sallam berkata : ‘Ini adalah ayahmu dan ini adalah ibumu, gandenglah tangan salah seorang diantara mereka yang engkau kehendaki!’. Kemudian anak itu menggandeng tangan ibunya, lalu wanita tersebut pergi membawanya” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 2277; shahih].

Hadits ini merupakan dalil bahwa seorang anak ketika bisa mandiri atau sudah tamyiz mempunyai hak kebebasan untuk memilih antara ikut ayah atau ibunya, karena dalam usia tersebut, anak sudah mempunyai kecendrungan untuk memilih siapa yang ia lebih senangi.

Akan tetapi jika dilihat dari dalil-dali ayat al-Qur’an maupun hadis ini tidak menerangkan secara jelas batas usia Hadhanah hanya menjelaskan bahwa anak tersebut mumayyiz, mengenai hal ini para ulama berbeda pendapat tentang rentang waktu Hadhanah.

Menurut mazhab Hanafi, saat anak laki-laki tidak memerlukan penjagaan dan telah mampu mengurus keperluannya sehari-hari, dengan itu batas usia hadhanah berakhir, dan bagi anak perempuan apabila telah menstruasi pada hari pertama ia haid, artinya masa hadhanah bagi anak laki-laki berumur 7 tahun dan perempuan 9 tahun.[9]

Menurut mazhab Imam Malik, masa hadhanah berakhir ketika laki-laki sudah Ihtilam (mimpi), sedangkan masa hadhanah bagi perempuan setelah ia mencapai usia menikah, namun ketika ibunya sedang lagi masa Iddah, maka lebih berhak terhadap anak perempuanya sampai ia menikah lagi, jika tidak maka sebaiknya putrinya dititipkan kepada bapak/saudara bapak bibi menjadi walinya.[10]

Sedangkan menurut Mazhab Syafi’iy usia Hadhanah baik laki-laki dan perempuan sampai usia tujuh tahun atau delapan tahun, maka ia berhak untuk memilih dengan siapa ia akan tinggal.[11]

Di sisi lain, Islam juga telah mengatur tentang gugurnya Hak Hadhanah, bahwa seorang ibu akan gugur hak asuhnya apabila menikah lagi, sebagaimana hadis Nabi saw,

عن عبد الله بن عمرو أن امرأة قالت: يارسول الله، كان بطني له وعاء وثديي له سقاء وحجري له حواء وان اباه طلقني واراد أن ينزعه مني فقال لها رسول الله صلى الله عليه وسلم أنت أحق به مالم تنكحي رواه أحمد وأبو داود وصححه الحاكم

Artinya: “Bahwa seorang wanita berkata, Ya Rasulullah, sesungguhnya anak saya ini, perut sayalah yang telah mengandungnya, dan susu sayalah yang telah menjadi minumannya dan pangkuanku lah yang melindunginya. Tapi bapaknya telah menceraikanku dan hendak menjauhkan anakku pula dari sisiku”. Maka Rasulullah bersabda, Engkaulah yang lebih berhak akan anak itu, selagi belum menikah dengan orang lain.” (HR. Ahmad, Abu Daud dan disahihkan oleh imam Alhakim)

Imam al Mawardi berpendapat bahwa pernikahan hendak menggugurkan ibu sebagai hak hadhanah dan kafalah terhadap perkataan hadis tersebut di atas.[12] Sementara, Kitab Al-Muhalla Ibn Hazm menjelaskan bahwa ibu tidaklah gugur dalam hadhanah sebab pernikahan ketika ibu dapat dipercaya hal ini berdasarkan nash yang diutarakan oleh Nabi Saw, bahwa tidak mengkhususkan menikahnya si Ibu atau tidak.[13]

Dari hadis ini juga, dapat penulis tarik kesimpulan bahwa apabila ibunya menikah maka praktis hak hadhanah tersebut beralih kepada ayahnya, alasan yang dapat dikemukakan adalah bahwa apabila ibu anak tersebut menikah, maka besar kemungkinan perhatiannya akan beralih kepada suaminya yang baru dan mengalahkan atau mengorbankan anak kandungnya.

Namun, penulis belum menemukan dalil bahwa jika seorang ayah kembali menikah dengan perempuan lain, maka hak asuh nya jatuh kepada yang lain. Hal ini sejalan dengan para ulama belum ada yang memberikan syarat ini bagi suami yang menikah lagi. Hal ini bisa diindikasikan bahwa bapak adalah sebagai kepala keluarga dalam keluarga sehingga mempunyai otoritas yang lebih dari perempuan. Begitu juga nash tidak ada yang tegas menyampaikan demikian, tidak seperti nash perempuan yang menikah lagi maka gugurlah hak asuhnya.[14]

Berdasarkan penjelasan di atas, penulis berpendapat bahwa dalam hukum Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Hadis Nabi saw, dalam kasus pemeliharaan anak yang masih belum mumayyiz diserahkan kepada ibunya selama ibunya tersebut belum melaksanakan pernikahan, jika sudah mumayyiz diberikan kepada anak tersebut untuk memilih untuk hidup bersama siapa, apakah dengan ibunya atau dengan ayahnya.

  1. Nafkah anak

Islam juga mengatur masalah nafkah yang harus ditanggung oleh ayah terhadap anaknya jika terjadi perceraian. Ayah masih memiliki kewajiban untuk menafkahi anaknya meskipun anak tersebut ikut dengan ibunya. Hal ini dapat dilihat dari QS Al-Baqarah ayat 233;

وَٱلْوَٰلِدَٰتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَٰدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ ٱلرَّضَاعَةَ ۚ وَعَلَى ٱلْمَوْلُودِ لَهُۥ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ لَا تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَا تُضَآرَّ وَٰلِدَةٌۢ بِوَلَدِهَا وَلَا مَوْلُودٌ لَّهُۥ بِوَلَدِهِۦ ۚ وَعَلَى ٱلْوَارِثِ مِثْلُ ذَٰلِكَ ۗ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالًا عَن تَرَاضٍ مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا ۗ وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن تَسْتَرْضِعُوٓا۟ أَوْلَٰدَكُمْ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم مَّآ ءَاتَيْتُم بِٱلْمَعْرُوفِ ۗ وَٱتَّقُوا۟ ٱللَّهَ وَٱعْلَمُوٓا۟ أَنَّ ٱللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Artinya : “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma'ruf. Seseorang tidak dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya, dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih (sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawaratan, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan”

            Ayat ini menjelaskan bahwa kewajiban bagi seorang ayah untuk memberi makan dan pakaian kepada para ibu kalau ibu anak-anak yang disusukan itu telah diceraikannya. Wanita yang ditalak kadang punya anak yang masih bayi, anak ini mungkin menjadi terlantar lantaran si ibu tidak mau menyusui bayinya demi membalas dendam kepada si ayah yang telah menalaknya. Dengan adanya kewajiban ini, anak yang dilahirkan mendapat jaminan pertumbuhan fisik dan perkembangan jiwa dengan baik.

Kewajiban ayah menafkahi anak sampai anak akil baligh dan anak bisa menghidupi dirinya sendiri, khusus untuk perempuan nafkahnya sampai dia menikah. Namun realita dalam masyarakat tidaklah seperti itu. Anak yang ikut ibunya, kebanyakan ayah melupakan tanggung jawabnya untuk menafkahi anak yang ikut dengan ibunya. Ayah menelantarkan anaknya bahkan terkadang anak tidak pernah dijenguk olehnya. Oleh karena itu, perlu ada ketegasan dari agama maupun dari pemerintah dalam pengaturan kewajiban nafkah orang tua kepada anaknya.

  1. Hak Anak Setelah Perceraian dalam Perundang-Undangan Di Indonesia

Anak sebagai karunia Allah, merupakan titipan yang harus dijaga dengan baik. Orang tua merupakan pihak pertama yang bertanggung jawab atas kesejahteraan anak baik secara rohani, jasmani maupun sosial.[15] Negara menetapkan beberapa aturan mengenai hal tersebut, dalam hal melindungi hak anak. Hak anak setelah perceraian pun diatur di beberapa undang-undang seperti UU No 1 Tahun 1974, UU Perlindungan anak dan instruksi presiden nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.

Undang-Undang No 1 Tahun 1974 mengatur bahwa meskipun terjadi perceraian dalam keluarga, maka anak tetaplah menjadi tanggung jawab bagi kedua orangtuanya. Tanggung jawab terpenting bagi kedua orangtua dapat meliputi menjamin kehidupan anak dan pendidikan anak.[16] Dalam hal terjadi perceraian, ayah memiliki kewajiban untuk memberikan biaya hidup dan pendidikan kepada anak. Pembeban ini, hanya sebatas kemampuan sang ayah. Ketika ayah tidak mampu memenuhi, maka pengadilan berhak untuk memutuskan bahwa ibu juga menanggung biaya hidup dan pendidikan anak.[17]

Aturan ini di satu sisi memberikan perlindungan hukum terhadap anak, dalam hal jika terjadi perceraian di antara orang tuanya, namun dibatasi sesuai kemampuan sang ayah bukan berdasarkan kebutuhan anaknya. Undang-undang pun tidak memaksa di luar kemampuan sang ayah dalam menafkahi anak, sehingga ibu dapat ikut menafkahi selama alasan ayah tidak mampu menafkahi karena alasan yang memang benar-benar dapat diterima oleh akal. Hal ini dimaksudkan untuk memberi keadilan kepada keduanya, agar kedua pihak tidak merasa terbebani oleh adanya anak.

Undang-undang memberikan jalan bagi salah satu pihak dari bapak atau ibu yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana mestinya terhadap anak, maka pihak yang merasa dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan agama agar pihak yang lalai memenuhi kewajibannya bisa memenuhi kebutuhan anak.[18]

Nafkah anak setelah terjadinya perceraian yang dibebankan kepada ayahnya, seringkali tidak terpenuhi disebabkan beberapa alasan seperti ayah tidak mampu untuk memberikan nafkah, ayah tidak diketahui lagi keberadaannya, atau ayah mampu tapi memang tidak mau memberi nafkah kepada anaknya. Hal ini pada dasarnya dapat dimintakan eksekusi oleh ibu atau anak itu sendiri. Jenis eksekusi nafkah adalah eksekusi dengan membayar sejumlah pembayaran yang dimulai dari permohonan, aanmaning, sita eksekusi dan diakhiri dengan lelang. Bahkan seorang PNS pria yang bercerai sudah tidak berhak penuh atas gajinya, karena disitu terdapat hak isteri dan anak. Hak PNS hanya sepertiga dari gajinya jika dia memiliki anak dan ikut isteri, atau setengah bagian jika PNS tidak memiliki anak.[19]

Namun, hal ini masih menjadi kendala di lapangan karena eksekusi yang akan dilakukan memakan biaya yang lebih tinggi dari yang dimintakan eksekusinya, sehingga baik ibu atau anak yang dirugikan tidak

Dalam undang-undang perlindungan anak, orang tua berkewajiban dan bertanggung jawab untuk : pertama, mengasuh, memelihara, mendidik, dan melindungi anak. Kedua, menumbuhkembangkan anak sesuai dengan kemampuan, bakat, dan minatnya. Ketiga, mencegah terjadinya perkawinan pada usia anak-anak. aturan ini juga menunjukkan perlindungan undang-undang terhadap kuantitas dan kualitas anak.[20]

Aturan-aturan di atas, sebenarnya telah berusaha untuk menjamin hak-hak anak setelah perceraian. Hal ini tercermin pada aturan-aturan baik di dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan maupun Kompilasi Hukum Islam tentang pengasuhan anak setelah perceraian. Ibu ditetapkan sebagai pihak yang diutamakan dalam pengasuhan anak yang masih belum mumayyiz. Anak sebagai tanggung jawab kedua orang tua, meskipun hak asuh anak jatuh di tangan ibu, maka ayah tetap berkewajiban menanggung nafkah anak yang diasuh oleh ibu.

Fakta mengatakan, tidak sedikit ayah yang kemudian lepas tangan, ketika pengasuhan anak jatuh ke tangan ibu. Hal ini yang kemudian menjadi sebuah kegelisahan di masyarakat, dan seharusnya tidak terjadi. Anak akan menjadi pihak yang dirugikan, ketika ayah telah mulai lepas tangan dari kewajibannya. Ibu yang berperan sebagai pengasuh anak, dan pemberi nafkah, akan mengakibatkan kedua perannya tersebut kurang maksimal. Hal ini dikarenakan ibu hanya berperan seorang diri untuk memenuhi kasih sayang dan kebutuhan hidup anak. Anak akan cenderung kurang terpenuhi secara utuh baik kasih sayangnya, maupun kebutuhan hidupnya.

Orang tua yang pada dasarnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk mengasuh, memelihara, mendidik, menumbuhkembangkan anak-anak cenderung tidak didapatkan anak secara maksimasl setelah orang tuanya bercerai. Orang tua cenderung mengedanpakan emosi masing-masing, sehingga anak menjadi korban dari ke emosian kedua orangtuanya. Ayah yang menganggap hubungan nya dengan isterinya telah putus, maka anak pun ketika diasuh ibu dianggap menjadi tanggungan ibu sepenuhnya. Peristiwa ini sebenarnya dapat diajukan gugatan terkait kelalaian ayah memberi nafkah anaknya, akan tetapi banyak pula para ibu yang menerima perlakuan tersebut dengan lapang dada. Hal ini dikarenakan, para ibu juga lebih memilih tidak mengajukan gugatan, karena sudah enggan berhubungan kembali dengan mantan suaminya. Ibu lebih memilih menanggung anaknya dengan tangannya sendiri, daripada harus meminta bantuan kepada mantan suami yang telah enggan menafkahi anaknya. Ini yang menjadi problema di masyarakat saat ini. Hal ini membutuhkan keasadaran hukum dari masing-masing pihak.

  1. 3.Pelaksanaan Pemenuhan nafkah anak pasca perceraian di wilayah Hukum Pengadilan Agama Tembilahan.

Angka perceraian cenderung meningkat dari tahun ke tahun di Pengadilan Agama Tembilahan. Pada tahun 2018 jumlah perkara yang terdaftar di Pengadilan Agama Tembilahan sejumlah 913 perkara. Dari jumlah tersebut 818 adalah perkara perceraian yang terdiri dari 187 perkara Cerai Talak dan 631 perkara Cerai Gugat. Sedangkan Tahun 2019 jumlah perkara yang terdaftar sejumlah 986 perkara, 884 adalah perkara perceraian yang terdiri dari 684 perkara cerai gugat dan 160 perkara cerai talak. Sementara di tahun 2020 perkara yang terdaftar di Pengadilan Agama Tembilahan sejumlah 1221 perkara, 920 adalah perkara perceraian yang terdiri dari cerai gugat 725 perkara dan 195 perkara cerai talak. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat tabel 1 sebagai berikut:

Tabel 1.

NO

Tahun

Jumlah

Cerai Gugat

Cerai Talak

Lain-lain

1

2018

913

631

187

95

2

2019

986

684

160

102

3

2020

1221

725

195

301

Dari data tersebut dapat dilihat angka perceraian sangat tinggi di Kabupaten Indragiri Hilir, dimana setiap tahun angka perceraian cendrung meningkat bahkan ditahun 2020 telah hampir mendekati angka seribu. Dari data tersebut juga, dapat dilihat bahwa perkara cerai gugat (yang diajukan oleh seorang isteri) lebih banyak dan meningkat setiap tahun dibandingkan dengan cerai talak yang lebih fluktuatif.

Menurut data laporan penyebab terjadinya perceraian di Pengadilan Agama Tembilahan pada tahun 2020 dengan alasan karena perselisihan dan pertengkaran, yang disebabkan oleh masalah kekerasan dalam rumah tangga, meninggalkan tempat kediaman bersama, nafkah, berselingkuh/menikah siri, pemadat, tidak jujur masalah keuangan, tidak peduli atau mementingkan diri sendiri, sering pergi tanpa izin, hubungan dengan keluarga besar tidak harmonis, campur tangan keluarga, dan cemburu buta.

Penyebab perceraian tidak bisa tunggal, akan tetapi saling berkaitan antara beberapa penyebab seperti faktor kekerasan rumah tangga berkaitan dengan faktor ekonomi atau faktor nafkah berkaitan dengan mementingkan diri sendiri atau tidak jujur masalah keuangan. Dimana dalam gugatan cerai gugat atau permohonan cerai talak alasan-alasan perceraian akan dicantumkan dalam posita permohonan atau gugatan.

Perkara perceraian yang mencantumkan nafkah anak biasanya terdapat dalam perkara cerai talak, dimana suami berkedudukan sebagai pemohon yang mengajukan perkara ke pengadilan sedangkan istri berkedudukan sebagai termohon. Dalam perkara cerai talak ini jika istri datang memenuhi panggilan pengadilan untuk bersidang, biasanya akan mengajukan gugat balik (rekonvensi). Diantara gugatan rekonvensi yang diajukan salah satunya adalah meminta biaya hadhanah (nafkah anak). Pengadilan Agama mengabulkan besaran nafkah anak berdasarkan besaran penghasilan Pemohon dan kebutuhan anak.

Disamping perkara cerai talak yang mencantumkan nafkah anak dalam putusan hakim. Dalam perkara cerai gugat dimana istri berkududukan sebagai Penggugat yang mengajukan gugatan ke pengadilan, sedangkan suami berkedudukan sebagai Tergugat. Dalam gugatannya istri juga mencantumkan nafkah anak dalam gugatan, dan jika gugatan tersebut beralasan hukum untuk diterima maka hakim akan mengabulkan gugatan tersebut.

Berdasarkan rekapitulasi data putusan perceraian yang memuat tentang nafkah anak pasca perceraian di Pengadilan Agama Tembilahan pada tahun 2020 sebanyak 9 perkara saja dari jumlah 925 perkara perceraian yang terjadi, 3 perkara dari cerai gugat dan 6 perkara dari cerai talak. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel 2 di bawah ini;

No

Jumlah Perkara

Cerai gugat

Cerai talak

Nafkah anak

Tanpa nafkah anak

Nafkah anak

Tanpa nafkah anak

1

925

3

722

6

189

Berdasarkan data tersebut, perlindungan hukum dalam upaya memenuhi nafkah anak pasca perceraian di Pengadilan Agama Tembilahan masih rendah, dalam perkara cerai gugat hanya 0,4 % perkara yang memasukkan gugatan hak asuh anak dan nafkah, sedangkan dalam perkara cerai talak hanya 3,1 % persen yang mengajukan gugatan rekonpensi dalam hal hak asuh anak dan nafkah anak. Sementara itu 99,1 % tidak terlindungi haknya secara hukum ketika terjadi perceraian antara ayah dan ibu mereka.

Berdasarkan hasil wawancara penulis dengan para pihak yang berjumlah 9 orang tersebut, 4 orang yang masih memberikan nafkah kepada anaknya, dan 5 orang yang tidak memberikan nafkah, untuk lebih jelasnya dapat dilihat dari tabel di bawah ini;

No

Jumlah Perkara

Masih memberikan nafkah

Ya

tidak

1

9

4

5

Berdasarkan data tersebut, dapat dilihat bahwa lebih dari 50 % ayah yang tidak memberikan nafkah kepada anaknya pasca perceraian.

Sebagai contoh Putusan Nomor 449/Pdt.G/2020/PA.Tbh tanggal 27 Agustus 2020, dimana Penggugat yang bekerja sebagai Wiraswasta mengajukan gugatan cerai kepada Penggugat dan hak asuh serta nafkah anak di Pengadilan Agama Tembilahan, dengan alasan sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan oleh Tergugat sering cemburu kepada Penggugat, Tergugat tidak menafkahi Penggugat dan anak Penggugat di tahun 2018 sampai dengan sekarang, dan Tergugat telah melakukan pengancaman dan kekerasaan terhadap Penggugat.

Penggugat juga mengajukan hak asuh anak dan nafkah anak untuk 1 orang sebesar Rp300.000, (tiga ratus ribu rupiah) per bulan diluar biaya pendidikan, sampai anak tersebut dewasa, dan dibayar kepada Penggugat sebelum Tergugat mengambil akte cerai yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Tembilahan.

Pengadilan Agama Tembilahan dalam putusannya mengabulkan gugatan Penggugat yang amarnya berbunyi:

MENGADILI

Dalam Eksepsi:

Menolak eksepsi Tergugat;

Dalam Pokok Perkara:

1.   Mengabulkan gugatan Penggugat;

2.   Menjatuhkan talak satu ba’in shugra Tergugat (Tergugat) terhadap Penggugat (Penggugat);

3.   Menetapkan anak Penggugat dengan Tergugat yang bernama Muhammad Aidil Ar-Rasyid, laki-laki, lahir di Sungai Luar, tanggal 03 Juni 2019 berada di bawah hadhanah Penggugat dan Penggugat harus memberi akses kepada Tergugat untuk dapat bertemu dan mencurahkan kasih sayangnya kepada anaknya tersebut;

4.   Menghukum Terguat untuk membayar nafkah anak tersebut melalui Penggugat sebesar Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah) setiap bulannya di luar biaya pendidikan dan kesehatan sampai anak dewasa atau mandiri yang setiap tahunnya ditambah 10% dari besarnya nominal tersebut;

5.   Biaya yang timbul dalam perkara dibenankan kepada Negara melalui DIPA Pengadilan Agama Tembilahan Tahun 2020

Setelah orang tua berpisah anak tersebut tinggal dengan ibunya, berdasarkan putusan Pengadilan Agama Tembilahan bahwa ayah berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp300.000,00 (tiga ratus ribu rupiah), akan tetapi dalam kenyataannya ayah kandung dari anak tersebut tidak dinafkahi oleh ayahnya setelah bercerai. Hal ini disebabkan karena tidak adanya komunikasi antara ayah dengan anak tersebut, termasuk berjumpa dengan anaknya, keengganan mantan suami memberikan nafkah kepada anak karena sudah terputus ikatan perkawinan, disamping itu keluarga dari ayah anak tersebut juga tidak pernah ikut memberikan nafkah kepada anak tersebut, bahkan ketika anak sakit, ayahnya juga tidak ikut membantu membiayai biaya kesehatan anak tersebut.[21]

Kasus kedua adalah perkara Nomor 314/Pdt.G/2020/PA.Tbh tanggal 23 Juni 2020, Dimana Pemohon mengajukan permohonan Cerai Talak kepada istrinya dengan alasan sering terjadi perselisihan dan pertengkaran dengan penyebab:” Termohon menjalin cinta kasih dengan pria lain. Dalam pemeriksaan persidangan istri (Termohon) hadir dan mengajukan Gugatan Rekonvensi dimana salah satu petitumnya berbunyi : ”Memberikan biaya hadhanah untuk 3 (tiga) orang anak sampai mereka dewasa atau mandiri sebesar Rp. 1.000.000,( satu juta rupiah) perbulan peranak,” . Atas gugatan Rekonvensi tersebut majelis hakim Pengadilam Agama Tembilahan mengabulkan sebagian gugatan Penggugat Rekonvensi dengan menjatuhkan putusan,” Menetapkan nafkah untuk biaya (hadhanah) tiga orang anak yang berada dalam asuhan (hadhanah) Penggugat Rekonvensi (selaku ibu kandung) yang harus dibayar Tergugat Rekonvensi (selaku ayah kandung) setiap bulan sekurang kurangnya sebesar Rp.400.000,(empat ratus ribu rupiah) per anak setiap bulannya di luar biaya pendidikan dan kesehatan dan setiap tahunnya biaya nafkah untuk setiap anak ditambah 10% (sepuluh persen).

Setelah perkara tersebut diputuskan pengadilan, apa yang menjadi kewajiban ayah memberi nafkah kepada anak anaknya meskipun telah bercerai tidak dipatuhi oleh mantan suami yang hal ini disebabkan oleh tidak diketahui lagi keberadaan mantan suaminya.

Pada kasus ketiga adalah perkara nomor 420/Pdt.G/2020/PA.Tbh tanggal 20 Agustus 2020, Dimana Pemohon mengajukan permohonan Cerai Talak kepada istrinya dengan alasan sering terjadi perselisihan dan pertengkaran dengan penyebab:” Termohon jika di nasehati oleh Pemohon selalu membantah dan tidak mau menurut, Termohon jika di ajak untuk hidup mandiri selalu menolak dan Termohon bersifat pemalas, pemarah dan tidak mau mengurus rumah tangga. Dalam pemeriksaan persidangan istri (Termohon) hadir dan mengajukan Gugatan Rekonvensi dimana salah satu petitumnya berbunyi : ”Memberikan biaya hadhanah untuk 2 (dua) orang anak sampai mereka dewasa atau mandiri sebesar Rp. 1.600.000,( satu juta enam ratus ribu rupiah) per bulan per anak,” . Atas gugatan Rekonvensi tersebut majelis hakim Pengadilam Agama Tembilahan mengabulkan sebagian gugatan Penggugat Rekonvensi dengan menjatuhkan putusan,” Menetapkan nafkah untuk biaya (hadhanah) satu orang anak yang berada dalam asuhan (hadhanah) Penggugat Rekonvensi (selaku ibu kandung) yang harus dibayar Tergugat Rekonvensi (selaku ayah kandung) setiap bulan sekurang kurangnya sebesar Rp.500.000,(lima ratus ribu rupiah) setiap bulannya setiap bulan sampai anak tersebut dewasa atau mandiri, yang harus dibayarkan setiap bulan kepada Penggugat Rekonvensi selaku pemegang hadanah atas anak tersebut.

Walaupun Pengadilan Agama Tembilahan telah memutuskan bahwa ayah wajib memberikan nafkah kepada anaknya, namun ayah tersebut masih memberikan nafkah kepada anaknya namun sudah tidak rutin per bulan lagi, dan jumlahnya lebih kecil dari yang ditetapkan oleh Pengadilan Agama Tembilahan. Hal ini menurut mantan isteri disebabkan karena mantan suami telah menikah lagi dengan perempuan lain dan memiliki tuntutan baru dengan keluarga barunya. Bahwa pihak keluarga mantan suami tidak pernah ikut memberikan nafkah kepada anaknya walaupun keluarganya tersebut memiliki duit yang banyak dan kebunnya yang luas juga. Jika anak sakit, mantan suami juga tidak pernah ikut membantu membayar biaya kesehatan anaknya tersebut, begitu juga biaya pendidikan anak, mantan suami tidak ikut membayar biaya pendidikan anak.

Kasus keempat dalam Putusan Nomor 810/Pdt.G/2020/PA.Tbh tanggal 03 Desember 2020, dimana Penggugat yang bekerja sebagai mengurus rumah tangga mengajukan gugatan cerai kepada Tergugat dan hak asuh serta nafkah anak di Pengadilan Agama Tembilahan, dengan alasan sering terjadi perselisihan dan pertengkaran yang disebabkan oleh Tergugat sering bertindak kasar dan temperamental, Tergugat pernah ingin meminta izin menikah lagi dan Tergugat mempunyai WIL. Penggugat juga mengajukan hak asuh anak dan nafkah anak untuk 4 orang masing-masing sebesar Rp1.000.000, (satu juta rupiah) per bulan.

Pengadilan Agama Tembilahan dalam putusannya mengabulkan gugatan Penggugat yang salah satu amarnya berbunyi Menetapkan hak hadhanah terhadap 2 (dua) orang anak kepada Penggugat dan Menghukum Tergugat untuk membayar biaya Pengasuhan dan pemeliharaan 2 (dua) anak yang dalam asuhan (hak hadhonah) Penggugat yang masing-masingnya sebesar Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) untuk masing-masing anak setiap bulannya sampai anak tersebut dewasa;

Setelah orang tua berpisah 2 orang anak tersebut tinggal dengan ibunya, berdasarkan putusan Pengadilan Agama Tembilahan bahwa ayah berkewajiban memberikan nafkah sebesar Rp1.000.000,- (satu juta rupiah), akan tetapi dalam kenyataannya ayah kandung dari anak tersebut tetap memberikan nafkah kepada 2 orang anaknya akan tetapi tidak rutin per bulan dan diminta terlebih dahulu baru dikirim oleh mantan suaminya. Pihak keluarga mantan suami juga tidak memberikan perhatian yang lebih kepada 2 orang anak tersebut, begitu juga mantan suami kadang-kadang ikut membiayai kesehatan anaknya, hal yang sama juga dilakukan oleh mantan suami dalam membiayai pendidikan anaknya, jika diminta terlebih dahulu baru ikut membantu membayar biaya pendidikan anaknya.

Pada kasus kelima adalah perkara nomor 401/Pdt.G/2020/PA.Tbh tanggal 24 Juli 2020, Dimana Pemohon mengajukan permohonan Cerai Talak kepada istrinya dengan alasan sering terjadi perselisihan dan pertengkaran dengan penyebab:” Menjalin cinta dengan laki-laki lain yang bernama AMIN melalui dari media social yang di ketahui oleh pemohon, Termohon sering keluar rumah tanpa sepengetahuan dan tanpa seizin Pemohon dan Termohon pernah membohongi Pemohon. Dalam pemeriksaan persidangan istri (Termohon) hadir dan mengajukan Gugatan Rekonvensi dimana salah satu petitumnya berbunyi : ”Memberikan biaya hadhanah untuk 1 (satu) orang anak sampai mereka dewasa atau mandiri sebesar Rp. 2.000.000,( dua juta rupiah) per bulan,” . Atas gugatan Rekonvensi tersebut majelis hakim Pengadilam Agama Tembilahan mengabulkan sebagian gugatan Penggugat Rekonvensi dengan menjatuhkan putusan,” Menetapkan nafkah untuk biaya (hadhanah) satu orang anak yang berada dalam asuhan (hadhanah) Penggugat Rekonvensi (selaku ibu kandung) yang harus dibayar Tergugat Rekonvensi (selaku ayah kandung) setiap bulan sekurang kurangnya sebesar Rp.1.000.000,(satu juta rupiah) setiap bulan dengan kenaikan sebesar 10 % pertahun sampai anak tersebut dewasa, mandiri atau berumur 21 tahun.

Dalam kasus ini, Pengadilan Agama Tembilahan telah memutuskan bahwa ayah wajib memberikan nafkah kepada anaknya sebesar Rp1.000.000, (satu juta rupiah) per bulan, mantan suami tersebut masih berkomunikasi dengan mantan isteri, rutin memberikan nafkah kepada anaknya setiap bulannya, keluarga dari mantan suami juga ikut memberikan nafkah kepada anaknya tersebut, dan hasil dari wawancara tersebut, Pemohon dan Termohon ada indikasi untuk kembali hidup bersama dengan aqad nikah baru.

Selain beberapa kasus di atas yang yang mencantumkan biaya hadhanah anak dalam putusan pengadilan, banyak putusan perkara perceraianyang tidak memutuskan biaya hadhanah, untuk di Pengadilan Agama Tembilahan saja pada tahun 2020 ada 916 putusan.

Dari kelima kasus tersebut di atas dapat dilihat pelaksanaan pemenuhan nafkah anak pasca perceraian oleh ayah masih sangat rendah. Besaran nafkah yang sudah ditetapkan pengadilan tidak dipatuhi apalagi putusan pengadilan yang hanya mengabulkan gugatan perceraian. Sehingga jika terjadi perceraian anaklah yang menjadi pihak yang menjadi korban karena tidak lagi mendapatkan apa yang menjadi haknya sebagai anak

Analisa pelaksanaan pemenuhan nafkah anak pasca perceraian di Pengadilan Agama Tembilahan

            Setelah melihat dan mengkai data-data yang telah terkumpul, baik data lapangan (field research) maupun data kepustakaan, peneliti menemukan adanya orang tua (ayah) yang memberikan nafkah anak dan orang tua (ayah) yang tidak memberikan nafkah anak pasca perceraian. Dari pembahasan di atas, ada beberapa penyebab pelaksanaan pemenuhan nafkah anak pasca perceraian tidak berjalan dengan baik;

-          Kurangnya komunikasi antara ayah dengan anak

Asbani bin ibnu abbas memiliki pekerjaan sebagai usaha fotokopi, yang dibebankan oleh hakim untuk menafkahi anaknya sebesar Rp300,000, namun sejak terjadi perceraian dengan mantan isterinya, tidak pernah ada lagi komunikasi baik dengan mantan isteri maupun dengan anaknya, tidak pernah mengunjungi anaknya.

-          sosial

Seperti perkara nomor 420/Pdt.G/2020/PA.Tbh bahwa mantan suami masih ada komunikasi dengan anaknya, mantan suami masih memberikan nafkah kepada anaknya, namun tidak rutin per bulan dan besaran yang diberikan lebih kecil dari yang ditetapkan dari putusan hakim, hal ini disebabkan bahwa mantan suami tersebut telah menikah lagi dengan perempuan lain, dan memiliki tanggung jawab lain dengan keluarga barunya.

-          tidak diketahui lagi keberadaan pasangannya

Tidak diketahui lagi keberadaan salah satu pasangan termasuk yang menjadi penyebab terhambatnya pelaksanaan pembayaran nafkah anak pasca perceraian seperti perkara Nomor 314/Pdt.G/2020/PA.Tbh tanggal 23 Juni 2020.

Faktor kurang bertanggung jawab terhadap keluarga

Berdasarkan pemaparan-pemaparan di atas, maka penulis memberikan beberapa solusi dalam permasalahan ini sebagai berikut:

  1. Perubahan Substansi hukum;

Substansi hukum bisa dilihat dari Pasal 66 ayat (5)[22] dan Pasal 86 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 mengatur ketentuan kumulasi penguasaan anak dan nafkah anak dengan gugatan perceraian. Substansi kedua pasal tersebut juga memiliki kelemahan, karena gugatan penguasaan anak dan nafkah anak dalam sebuah gugatan perceraian bersifat opsional. Penggugat diberikan kebebasan untuk menggabungkan atau tidak menggabungkan gugatan penguasaan anak dan nafkah anak dengan gugatan perceraian sebagai gugatan pokok.

Akibat dari kebebasan memilih tersebut menjadikan penegakan perlindungan hukum terhadap anak akibat perceraian tidak dapat optimal. Selain itu, dalam proses mediasi, seorang mediator juga tidak bisa menjangkau membahas masalah anak antara suami isteri tersebut karena terfokus kepada masalah perceraian saja.

Sebaiknya menurut penulis, substansi Pasal 66 ayat (5) dan Pasal 86 ayat (1) UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama yang telah diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 perlu diubah terkait soal penguasaan anak dan nafkah anak bukan dalam bentuk dapat akan tetapi harus diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak/cerai gugat.

Sehingga dengan perubahan substansi hukum tersebut, seorang mediator ketika terjadi mediasi antara para pihak dalam perkara perceraian lebih leluasa dan dapat memperoleh kata sepakat tentang hak-hak anak pasca perceraian. Siapa yang berhak mengasuh anak tersebut, berapa nafkah anak yang wajib dikeluarkan oleh seorang ayah terhadap anaknya, dan jika dikemudian hari tidak mampu memberikan nafkah kepada anaknya, apa harta yang bisa menjadi jaminan bagi anak untuk menyongsong masa depan mereka nantinya.

  1. Negara harus ikut campur dalam menanggung nafkah anak pasca perceraian

Negara sebagai pihak yang mengatur tingkah laku rakyatnya, maka seharusnya negara juga harus menjamin kehidupan rakyatnya secara maksimal. Terkait nafkah anak setelah perceraian, sebaiknya negara bertanggung jawab kepada anak yatim yang kurang terpenuhi haknya. Penerapannya bisa berupa tunjangan hidup bagi anak-anak di bawah umur (korban perceraian setelah ayahnya enggan untuk menafkahi anak) melalui orang yang mengasuh anak tersebut. Bisa pula berupa beasiswa bagi anak yang telah masuk usia wajib belajar, agar pendidikan anak tetap terpenuhi. Hal ini harus di bawah kontrol negara secara tegas, agar tidak disalah gunakan oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab.

  1. Isteri harus memiliki kemandirian dalam menjalani hidup ke depan.

Isteri tidak boleh sepenuhnya menggantungkan hidup kepada suami. Hal ini tidak hanya setelah terjadinya perceraian, akan tetapi juga dalam status masih dalam ikatan suami isteri secara sah. Isteri lebih baik memiliki pengahasilan, selain agar tidak bergantung sepenuhnya kepada suami dalam rumah tangganya, hal ini juga dimaksudkan agar isteri bisa hidup mandiri ketika dia harus menempuh jalan perceraian dalam rumah tangganya. Pekerjaan yang dilakukan oleh isteri pun sebaiknya bukan lah pekerjaan yang menghabiskan banyak waktu di luar rumah, agar anak tetap selalu dalam pantauan orang tua, karena pendidikan anak sejak dini sangat dibutuhkan oleh anak demi membentuk karakter sang anak.

  1. Meningkatkan komunikasi antara ayah dengan anaknya

            Faktor komunikasi adalah sangat penting dalam rangka pemenuhan nafkah anak pasca perceraian, sehingga dalam amar putusan majelis hakim selalu menyebutkan bahwa kewajiban pemegang hak asuh anak untuk memberikan akses untuk berjumpa dengan anaknya. Hal ini ditujukan agar ada komunikasi ayah kepada anaknya, dengan demikian ayah mengetahui kebutuhan yang diperlukan oleh si anak dalam kehidupan sehari-hari

  1. Mengajukan asuransi pendidikan dan kesehatan.

Orang tua yang baik seharusnya tidak hanya memikirkan jalan hidup anaknya pada waktu itu saja, akan tetapi juga memikirkan masa depan anaknya. Jadi, sedini mungkin ayah sebagai pencari nafkah harus mengasuransi pendidikan dan kesehatan anak untuk proteksi masa depan anak. Jika perlu semenjak anak tersebut baru lahir. Hal ini selain untuk proteksi masa depan anak, ini juga akan sedikit meringankan beban ibu, karena pembayaran asuransi ditanggung oleh pemberi nafkah, yakni ayah.

  1. Keluarga ayah dan Ibu ikut bertanggung jawab menanggung nafkah.

Laki-laki dan perempuan yang memilih untuk bersatu dalam ikatan perkawinan, maka keluarganya pun terikat satu sama lain. Dua keluarga yang pada mulanya tidak saling kenal, menjadi satu keluarga yang harus saling bantu-membantu dalam kondisi apapun untuk mewujudkan kebahagiaan bersama terutama anak. Sama halnya dengan kewajiban memenuhi nafkah anak, ketika sang ayah sendiri tidak mampu untuk memberikan nafkah kepada anak, maka keluarga ayah lah yang paling utama untuk membantu memenuhi nafkah anak. Dalam perkawinan memang dikenal istilah mantan suami/ mantan isteri, akan tetapi tidak dikenal mantan anak/ mantan cucu / mantan saudara, oleh karena itu, anak tetaplah anak, dan cucu tetaplah cucu.

Apabila keluarga suami juga tidak mampu menafkahi anak karena alasan yang logis, maka keluarga ibu pun berhak memberikan bantuan untuk memenuhi nafkah anak tersebut. Hal ini dikarenakan agar tidak memberatkan salah satu pihak saja, baik pihak keluarga ayah maupun pihak keluarga ibu.

KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas dapat ditarik kesimpulan:

            Islam mewajibkan kepada ayah untuk menafkahi anaknya meskipun anak berada dalam asuhan ibunya. Kewajibannya tersebut sampai anak sudah akil baligh dan mampu untuk menghidupi diri sendiri, dan khusus bagi perempuan sampai dia menikah.

Perlu kontrol yang aktif dari pemerintahan untuk menjamin pemenuhan hak-hak anak setelah terjadinya perceraian. Beberapa solusi untuk ayah yang tidak mampu menafkahi anaknya: a) perubahan substansi hukum. b) Negara harus ikut campur dalam menanggu nafkah anak pasca perceraian. c) Meningkatkan komunikasi antara ayah dengan anaknya. d) Isteri harus memiliki kemandirian dalam menjalani hidup ke depan. e) Mengajukan asuransi pendidikan dan kesehatan. f) Keluarga ayah dan Ibu ikut bertanggung jawab menanggung nafkah anak.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Munzazhzhamah, al-‘Arabiyyah li at-tarbiyyah wa ats-Tsaqafah wa al-‘Ulum, al-Mu’jam al-‘Arabi al-Asasi, Tunisia: Larose, 2003.

Dja’is, Deasy Caroline Moch., Pelaksanaan Eksekusi Nafkah Anak di Pengadilan Agama, Artikel Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah dan DITBIN BAPERA Islam N0.42 Tahun X 1999

Effendi, Satria, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer: Analisis Yurisprudensi dengan Pendekatan Ushuliyah., Jakarta: Kencana 2010.

Kharofa, Ala’eddom, Islamic Family Law: A Comparative Dtudy with Other Religiions, Kuala Lumpur Internationl Law Book Services, 2004

Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet. Ke-3, Jakarta: Kencana, 2005.

Tarigan, Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI., Jakarta: Kencana, 2006

Jurnal

Anton F.Susanto, Penelitian Hukum Transformatif Partisipatoris, Malang, Setara Press, 2015, hlm. 17

Betra Sarianti, Perlindungan Anak Berhadapan Dengan Hukum Diantara Harapan dan Hambatan, Jurnal Ilmiah Kutei ,ISSN 14129639 edisi 28 April 2015

Didmus Dewa, The Plight of Children as Secondary Victims of Divorce in Gweru Zimbabwe: 2013 – 2016, International Journal of Advanced Science and Technology, ISSN: 20054238 IJAST Copyright 2016 SERSC, Vol.91, 2016, p. pISSN:1693766X; eISSN:25794663, Vol. 27, No. 2, Agustus 2018, 105117

Dja’is, Deasy Caroline Moch., Pelaksanaan Eksekusi Nafkah Anak di Pengadilan Agama, Artikel Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah dan DITBIN BAPERA Islam N0.42 Tahun X 1999

Rahmadi Indra Tektona, Kepastian Hukum Terhadap Perlindungan Hak Anak Korban Perceraian, Jurnal Muwazah, 25025368 (Paper) ISSN 20858353 Volume. 4, Nomor. 1, 2012, p. 44


[1] Gushairi, S.H.I, MCL, Hakim Pengadilan Agama Rangkasbitung

[2]https://badilag.mahkamahagung.go.id/laptah/laptah/laptah, di akses pada tanggal 27 Januari 2021

[3] https://badilag.mahkamahagung.go.id/laptah/laptah/laptah, di akses tanggal 3 Februari 2021

[4] Al-Munzazhzhamah, al-‘Arabiyyah li at-tarbiyyah wa ats-Tsaqafah wa al-‘Ulum, al-Mu’jam al-‘Arabi al-Asasi (Tunisia: Larose, 2003), hal. 328

[5] Ala’eddom Kharofa. Islamic Family Law: A Comparative Study with Other Religiions (Kuala Lumpur Internationl Law Book Services, 2004), hal. 304

[6] Khoiruddin Nasution, Perlindungan Terhadap Anak Dalam Hukum Keluarga Islam Indonesia, Al’Adalah Vol. XIII, No. 1 Juni 2016, h. 1

[7] Sayyid Sabiq,Fikih Sunnah, Jilid 8,(Bandung:Al-Ma’arif,1996),hlm.160

[8]Amiur Nuruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia: Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih, UU No. 1/1974 sampai KHI. (Jakarta: Kencana, 2006) hal. 293

[9] Abdul Rahman Ghazali, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2006), h. 185

[10] Huzaemah Tahido Yanggo, Fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2010), h. 186-187

[11] Ibid, h. 187

[12]Abi al-Hasan Ali bin Muhammad bin Habibal-Mawardi, al-Hawial- Kabir (Bairut:Daaral-Kitabal-Ilmiyah,1994),h.510

[13] Abi Muhammad Ali bin Ahmad bin Said bin hazm, Al-Muhalla (Mesir: IdarahThiba’ahal Muniriyah),h.146

[14] Satria Effendi M. Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Kontemporer: Analisis Yurisprudensi Dengan Pendekatan Ushuliyah, (Jakarta: Prenada Media, 2004), h. 171

[15] Undang-Undang No 4 Tahun 1979 tentang Kesejahteraan Anak, Pasal 9.

[16] Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Pasal 41 ayat (1).

[17] Undang-Undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Pasal 41 ayat (2).

[18] Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, cet. Ke-3 (Jakarta: Kencana, 2005), hlm. 433.

[19] Deasy Caroline Moch. Dja’is, Pelaksanaan Eksekusi Nafkah Anak di Pengadilan Agama, (Artikel Jurnal Mimbar Hukum, Jakarta, Al-Hikmah dan DITBIN BAPERA Islam N0.42 Tahun X 1999), hlm.

[20] Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 tentang Perlindungan Anak, Pasal 26.

[21] Hasil wawancara dengan Penggugat perkara nomor 449/Pdt.G/2020/PA.Tbh, pada tanggal 10 Mei 2021

[22] Pasal 66 (5) UU Nomor 7 Tahun 1989:”Permohonan soal penguasaan anak, nafkah anak, nafkah isteri, dan harta bersama suami isteri dapat diajukan bersama-sama dengan permohonan cerai talak ataupun sesudah ikrar talak diucapkan”.

Hubungi Kami

WhatsApp Image 2021-10-21 at 11.54.49.jpeg

Pengadilan Agama Rangkasbitung

Jalan Jendral Sudirman KM.03 Narimbang Mulya, Rangkasbitung, Lebak-Banten

Telp: (0252) 201533 | Web:pa-rangkasbitung.go.id
Email: This email address is being protected from spambots. You need JavaScript enabled to view it.

Link Sosial Media:

    whatsapp-png-image-9.png

Pengadilan Agama Rangkasbitung@2021